Rabu, 15 September 2021

The Tattoo's

Terik mentari menyapa pagi, hari ini ada niat bagi Natasya untuk tidak mengikuti pelajaran. Ia mengambil bungkus rokok pada sakunya, disesapnya rasa pahit bercampur manis pada rokok tersebut. Gadis itu tidak mematik koreknya, ia hanya ingin merasakan pahit manisnya sepuntung rokok pada sudut bibirnya; hal wajar yang ia lakukan ketika mengalami stress ringan. Daripada semakin menyusahkan diri, lebih baik cari aman saja, pikirnya.

“Selamat pagi, Natasya,” sapa suara manis nan centil dari gadis seumurannya. Itu Klyen, teman sebangkunya. “Menyesap rokok lagi?” tanyanya tak digubris sekalipun.
Natasya membuang tangkai rokoknya, rasanya kini menghilang, hanya hambar yang tersisa. Klyen yang sudah terbiasa melihat pemandangan paginya dengan gadis SMA seperti Natasya pun terkejut. Bukan, bukan karena Natasya menyesap rokok tanpa di bakar, melainkan karena sang gadis kini membelokkan arah perjalanannya ke sisi lain.

“Natasya tidak ingin belajar di sekolah?” tanya yang lebih mungil setengah berteriak.

Empu nama menoleh, tersenyum simpul kepada lawan bicaranya. “Tidak,” jawabnya kemudian pergi meninggalkan Klyen sendirian. Tak ambil pusing, siswi manis itu pun berlari masuk ke dalam gerbang sekolah. Alih alih melaporkan kehadiran Natasya ia memilih untuk bungkam, memberi alasan meyakinkan agar tertanda izin pada absennya.

Definisi “Teman yang baik adalah teman yang selalu ada di sisimu saat itu juga” sangat cocok untuk keadaan Klyen saat ini. Bel pulang sekolah berbunyi, gadis kecil itu tak sengaja menemukan teman sebangkunya berada di ruang BK; Natasya dengan seragam sekolah rapi serta tasnya yang diselempang ke kanan. Gadis itu tertangkap basah tengah menghabiskan waktu sekolahnya di Warung Internet. Dengan cepat Klyen masuk ke dalam, beradu argument dengan guru BK hingga akhirnya berhasil mengeluarkan Natasya dari hukuman.

“Buat apa kamu terus menolongku?”

Klyen sumringah, ia menyodorkan bekal makan siangnya yang belum habis. “Tidak ada, aku hanya senang menolong orang orang di sekitarku.” 

Kotak bekal makan siang itu ditepis pelan oleh Natasya, ia menolaknya. “Tidak perlu. terima kasih,” ucapnya meninggalkan gadis periang itu sendirian.

Dengan perasaan kecewa, gadis kecil itu pun menangis sejadi jadinya: melampiaskan amarah yang terus memuncak pada dirinya. Mendengar tangisan Klyen pun Natasya menoleh, ini adalah kali pertamanya mendengar jerit tangis teman-periang-sebangkunya. Semua orang pada Lorong kelas pun menoleh pada Natasya: anak bernotabene rusak baru saja membuat seorang Klyen-ketua kelas sekaligus ketua OSIS-mengeluarkan tangisannya.

Tak mau menjadi sorotan, Natasya pun berlari menghampiri gadis itu, ia tersenyum malas menyapanya. ”Sudahi tangismu, kita menjadi sorotan.” Natasya merobek saku bajunya, segera ia menekan ujung hidung Klyen untuk membersihkan ingusnya.

Alih alih berhenti, air matanya semakin menjadi jadi beruntung kini hanya mengeluarkan isakan isakan kecil. “Apa itu salahku?” tanya Natasnya memastikan. Klyen menggeleng, ia meraih pinggang Natasya agar mudah dipeluknya. Empu badan terkejut bukan main, ia tidak pernah menerima bahkan memberi afeksi seperti ini kepada dan dari orang lain-bahkan ibunya sekalipun. Pelan tapi pasti gadis itu membalas pelukan hangatnya; perlahan menitikkan air mata-kembali merasakan naluri manusianya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...


“Kamu punya banyak sekali kupu kupu ditanganmu, Natasya.” Hal pertama yang dikeluarkan oleh Klyen ketika tangisnya telah usai. Keduanya tengah berdiri di atas padang rumput luas, Natasya yang mengajaknya-dengan embel embel ia akan dibelikan es krim setelahnya.

Natasya terkekeh, ia tersenyum tanpa mengindahkan tatapan takjub dari Klyen. “Aku harus merawatnya dengan baik,” sahutnya demikian.

Hal itu diangguki oleh Klyen, jemarinya hendak menyibuki diri pada lengan penuh kupu kupu itu. “Apa aku boleh memegangnya?” Natasya menoleh, tersenyum kemudian mengangguki permintaan teman sebayanya. Mendapatkan sinyal hijau itupun membuat jemari Klyen beranjak mengelus lembut kulit penuh sayatan Natasya.

“Aku pernah melihat simbol ini sebelumnya,” ucapnya fokus pada baretan tangannya. “Apakah kamu tidak pernah berhasil membunuh dirimu sendiri, Natasya?”
Natasya terdiam, segera menutup lengannya dengan kemejanya, ia menghela napasnya. “Tidak usah ikut campur,” ketusnya. Klyen tertawa renyah, ia kembali menatap langit biru di atasnya.

Awan berhembus kencang, sepoi rasa menerpa kulit. Mentari kini bersembunyi dibalik ufuk barat, langit biru menua laksamana kehidupan; akan terus menghitam hal layak malam dengan mentari yang akan terus benderang memberimu harapan. Kicauan burung menipis digantikan oleh nyanyian merdu jangkrik, bunyi kendaraan yang berlalu lalang pun seolah ditelan deru angin-menghilang karena hari.

“Aku juga sedang berada di fasemu, Natasya.” Klyen berucap, helai rambut tipisnya disapu oleh angin yang menerpa. “Ibuku sudah tidak pernah kembali ke rumah semenjak kepulangannya dari Mexico. Ayahku mabuk mabukan setelahnya, yang ia inginkan hanya aku yang menjadi anak pintar sehingga saat ia mabuk berat ia akan berteriak keras kala melihatku hanya menghabiskan waktu bermalas malasan di rumah.”
“Awalnya aku mewajarinya, tapi sekarang tidak.” Suasana kembali hening, hanya jangkrik dan desiran air waduk yang menemani keduanya; Natasya tidak ingin membuka mulutnya untuk hal seperti ini-karena bahkan dia sendiri belum menemukan harta di ujung pelanginya.

“Satu waktu aku dengan dua orang temanku sedang mengerjakan tugas bersama. Namun entah angin darimana, ayah tiba tiba bertingkah kasar, ia memukuliku, menampar bahkan melempariku benda berat agar emosinya terpenuhi. Kedua temanku berlari keluar rumah ketakutan, mereka mengemasi barang barangnya, dan berteriak ‘Ada orang gila!’ berulang kali. Padahal saat itu ayah sadar, namun entah darimana ia bisa melakukan hal keji itu kepadaku.” Klyen meneruskan ceritanya. Ia kemudian menunjukkan beberapa luka yang terus membiru. “Aku tidak memiliki cukup uang untuk mengobati lukanya,” senyumnya terpapar rapi di sana. Natasya menggeleng, ini kali pertamanya ia mendengarkan cerita seseorang yang sama buruk dengannya.

“Semenjak kejadian itu aku tidak memiliki teman lagi. Mereka menganggapku sebagai anak bermasalah.” Gadis yang lebih mungil menarik kembali kemejanya, menutup semua bagian luka, dan tersenyum puas. “Kalau dipikir pikir apa aku berhak untuk membunuh diriku sendiri?”

Pertanyaan itu seolah sengatan listrik bagi Natasya, ia segera bangkit dari duduknya, menggelengkan kepala kemudian menarik teman sebayanya untuk ikut bersamanya. Tidak mengindahkan berbagai kalimat tanya dari Natasya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

Bau obat menyeruak dari ruang inap nomor dua puluh tiga, sebagai akibat infeksi luka Klyen harus menginap di rumah sakit. Dari luar terlihat tubuh ringkih Klyen sedang tertidur nyenyak. Sang ayah menangis kala melihat tubuh putri semata wayangnya tengah tertidur lelap di atas kasur rumah sakit.

Setelah mendengar cerita tragis rumah tangga Klyen, Natasya memutuskan untuk menarik teman sebayanya ke rumah sakit namun nahas saat ia membawanya masuk ke dalam gerbang rumah sakit kaki sang gadis sudah tidak kuat lagi; Klyen bahkan sempat berhalusinasi melihat secercah cahaya dan minuman segar dihadapannya-padahal itu adalah botol botol handsanitizer yang sudah disediakan oleh rumah sakit untuk para pasiennya. Membuatnya jatuh tersungkur tak berdaya di atas lantai rumah sakit.

Beruntung saat itu ada dokter yang sedang berjaga. Dengan cepat mereka membawanya ke ruang Unit Gawat Darurat dan meminta Natasya untuk menenangkan dirinya. Mendengar hal ini ayahnya terus menyalahkan Natasya, membentaknya seolah ia adalah pelakunya. Natasya dengan tegas memberi penjelasan kemudian pergi meninggalkan sang ayah setelah menuturkan kata maafnya.

Setelah dokter keluar dari ruangan, sang ayah dimintai penjelasan oleh sang dokter. Pria itu dibawa ke ruang pribadi sang dokter dan meninggalkan gadisnya di dalam ruangan sendirian. Di dalam sana terdapat secarik surat yang tergeletak diatas lantai-jatuh terbawa angin dari amplopnya.

Di sana tertulis, “Hai Klyen, maaf aku tidak bisa terus berada di sampingmu. Tadi dokter menanyaiku perihal infeksi pada lukamu, dengan terpaksa aku memberitahukannya kepada dokter. Apa itu tidak masalah?”

“Oh satu hal lagi, kamu seharusnya senang mendapatkan kabar ini. Ayahmu datang menjengukmu, ia menangis sejadi jadinya di depan kamar inapmu. Namun untuk kedepannya aku tidak tahu apakah kamu masih bisa kembali bercanda tawa lagi bersama ayahmu atau tidak. Setelah dokter bertanya perihal dirimu ia berjanji akan membawa masalah ini ke dalam hukum dan aku harap kamu bisa menerimanya.”

“Tolong jaga dirimu baik baik. Kamu bisa datang kepadaku jika kamu sudah menerima keputusan ini. Namun jika tidak, kamu bisa mengabaikan suratnya dan membenci diriku. Aku sedang mencoba menyelamatkanmu dari neraka sementara ayahmu.”

“Jawabanku perihal pertanyaanmu adalah tidak, kamu pantas untuk menikmati dunia fana ini dengan bersenang senang, bebas dari hardikan ayahmu. Perihal tunjangan hidup, aku sudah menaruh kartu kredit milikku untukmu, aku harap itu cukup untuk membiayai dirimu juga ayahmu selama kamu belum memiliki pekerjaan.”

“Jangan khawatirkan diriku, aku baik baik saja. Tertanda, Natasya Vederick.”

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

Salju memutih, ini kali pertama Klyen dapat menikmati musim dingin dengan tenang, tanpa nyeri pukulan dari ayahnya. Sang ayah kini ditahan di penjara selama beberapa tahun. Natasya sempat menolak keputusan itu namun dokter serta perawat yang merawatnya di rumah sakit mencoba meyakinkannya. Dengan berat hati ia menyetujui hal tersebut.

Terpisah dengan ayah yang selalu mengasihinya sejak kecil-tidak semenjak ia duduk di bangku 11 SMA-sangat membosankan. Sendiri seperti ini memang tidak asik, terlebih ia menggunakan kartu kredit milik Natasya untuk menunjang hidupnya. Sebenarnya uang yang disuguhi lebih dari cukup-setidaknya bisa digunakan untuk membebaskan ayahnya dari penjara, namun ia menolaknya. Gadis itu masih memiliki trauma mendalam akibat seluruh perlakuan ayahnya, sedangkan untuk mengunjungi rumah Natasya sendiri ia agak malas; hal ini disebabkan oleh keputusannya yang masih belum bisa ia maafkan.

Namun lagi lagi definisi “Teman yang baik adalah teman yang selalu ada di sisimu saat itu juga” selalu menyapanya. Entah bagaimana keduanya selalu dipertemukan di tempat yang sama, seperti halnya saat ini. Klyen sedang menikmati hari indahnya di taman burung dara-tempat dimana anak kecil biasa singgah untuk sekadar memberi makan seekor burung dara-yang sepi, maksud memilih tempat ini karena tengah sepi penduduk. Meski demikian, takdir berkata lain, keduanya saling bertemu dengan Natasya dan burung burung dara di sebelahnya.

“Butuh teman?” ucapnya kepada burung dara; dimaksudkan untuk Klyen. Natasya melirik sejenak ke arah Klyen berdiri diikuti oleh lima ekor burung dara lainnya.

Merasa terpojoki, Klyen memilih diam sebelum lima ekor burung dara tadi menghampirinya; mematuk gemas pada hoodie aroma stroberi milik Klyen. Natasya terkekeh, “Mereka menyukaimu.” Kemudian ikut menghamburkan peluk pada teman sebangkunya.

“Terima kasih,” ucap Klyen menerima afeksi tersebut. Natasya mengangguk, diikuti oleh menjauhnya kelima burung dara tadi.

Setelah selesai melepas rindu, keduanya saling merangkul satu sama lain; menunjukkan rasa sayang di antara keduanya.

Langit biru dikerubungi oleh kabut tebal menandakan hujan salju akan turun. Dua gadis SMA itu berjalan cepat menyusuri tanah bersalju. Keduanya saling melontarkan canda gurau di tiap perjalanannya, memberikan kesan hangat yang menyelimuti keduanya.

“Ngomong ngomong, dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Klyen di sela perjalanan. Natasya tersenyum lembut menatapnya; ia adalah pekerja paruh baya di sebuah toko kosmetik terkenal, gajinya bisa mencapai satu sampai dua juta perdua bulan. Oleh sebab itu ia memiliki setidaknya tabungan untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan ibunya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ...

Lautan luas menyapa pendengaran, burung burung pelikan kembali ke sarangnya. Kini ombak menjadi satu satunya tempat terakhir persinggahannya, pria itu tersenyum kecut menatap luasnya dunia, menyesali perbuatannya dua puluh tujuh tahun silam; saat dimana putri serta tiga orang teman anaknya tewas di dalam rumahnya dengan luka tembakan. Saat itu ia tengah dimabuk emosi, tidak ada yang bisa menenangkannya hingga hal itu menimpanya.

Menyesal serta menyalahkan diri sendiri saja tidak bisa menuntaskan segalanya. Alih alih berdamai dengan masa lalunya, ia mencoba membuat imajinasi tentang anaknya dan satu orang penguat hidup bagi anaknya; Anastasia Beghophin, gadis dengan keluarganya yang kelam yang selalu berada di samping anaknya-Kayla Enderick.

Air laut menampakkan rasanya pada lidah penyelam. Belahan permukaan airnya seperti batu besar yang jatuh, membuat ombak tak berdaya menghantamnya. Dengan adanya ini, selesai sudah imaji Enderick Wildson mengenai anaknya.

Rabu, 01 September 2021

Terbangnya Dandelion

Title: When the Dandelion's Already Flight
Genre: Angst, Short Story

Suasana sekolah menjadi atmosfer terindah yang dirindukan oleh para pelajar, terlebih mereka yang baru saja duduk di bangku sekolah. Mulanya, terpikir libur dalam waktu lama adalah hal yang baik–bahkan terdengar sangat mengasikkan, namun sepertinya hal tersebut adalah mimpi buruk. Wabah penyakit tak bernama memasuki perkotaan, menewaskan hampir dua ribu manusia di dalamnya, membuat seluruh penduduknya gundah.

"Alyssa!" Teriak suara lembut gadis tan, maniknya tenggelam di antara pipi akibat mentari yang terlalu terang.

Empu nama menoleh, Alyssa Pradesta adalah pelajar rantau asal Medan. Ia terpaksa sekolah di Jakarta karena Kartu Keluarganya yang masih mencantumkan alamat Jakarta. Nasib, begitulah sekiranya.

Alyssa membuka matanya, menatap laptop dihadapannya; benda pintar itu kini menampakkan wajah temannya yang terbalut seragam–rapi. "Tertidur lagi?" ketusnya menutup panggilan, dalam waktu itu juga layar menghitam menggantikan layar video call dengan wallpaper laptop.

Hari Alyssa selalu berjalan biasa biasa saja; ia terbangun di pukul tiga pagi dengan segelas susu sebagai sarapannya, telepon genggam yang terus berdering–panggilan dari wali kelasnya karena belum memberi absen–setiap pukul delapan pagi, dan ocehan dari orang tua yang terus menghujamnya.

Gadis dengan kuncir merah muda itu menghela napas kasar, lagi lagi ibunya menulis catatan kecil untuknya. "Makanan ada di meja makan, jangan lupa tutupin tudung saji kalau sudah selesai makan.". Sekiranya itulah yang tertulis.

Alyssa turun dari kursinya, mematikan laptopnya, kemudian bergegas masuk ke dalam ruang makan; menuruti perutnya berbicara.

...

Siang ini Alyssa kembali menulis satu dua kalimat pada buku bindernya; benda yang menjadi media kekesalannya. Ia tersenyum kecut, merasa tidak adil pada dunia–seolah tempat ia menjalani hidup adalah neraka. Gadis itu mengambil bolpoinnya, menghembuskan napas kasar sebelum melampiaskan harinya saat ini.

"Hai diari manis,
Dengan Alyssa Pradesta di sini, bagaimana kabarmu? Oh, tolong maafkan aku karena telah menjadikanmu tempat pelampiasan (lagi).

Kamu tahu? Selama wabah penyakit yang masih tidak diketahui namanya ini melanda kota kami, jiwaku benar benar tersiksa. Aku tak kuasa menahan tangis saat kedua orang tuaku bertengkar mengenai tunjangan hidup kami. Bahkan sering kali aku melihat ayahku meminum pil penenang dengan dosis tinggi. Apakah itu tidak masalah?

Ibu tidak pernah bertemu tatap lagi dengan ayah, aku selalu menjadi perantaranya, meski terkadang kamu bisa melihat kami berkomunikasi melalui secarik kertas. Aku rasa ibu kini membenci ayah yang lepas dari tanggung jawabnya, ayah tidak lagi membiayai kebutuhanku bahkan kebutuhan ibu. Dia lebih memilih menyibukkan dirinya di depan komputer tanpa menghabiskan makan malam bersama.

Nilaiku menurun dibuatnya, ibu marah, aku sedih melihat kekacauan di rumah ini. Menurutmu bagaimana? Apakah ayah sedang bekerja di depan laptopnya namun ibu tidak percaya? Atau benar ayah sedang menjalin hubungan dengan orang lain? Jika benar maka aku akan sangat kesepian.

Aku sudah berulang kali memergoki ayah mengonsumsi alkohol, beruntung aku segera menghentikannya sebelum ia pergi mabuk di atas pulau kapuknya. Aku terlalu takut untuk menanyakan hal hal sensitif kepadanya, tapi aku masih berusaha untuk membujuknya menjelaskan kebenarannya."

Gadis yang masih menduduki bangku tiga SMP itu pun menitikkan air mata. Perlahan memori di dalam kepalanya terputar seperti rekaman pada piringan hitam yang di masukkan ke dalam alat pemutar.

Hari itu Alyssa sedang asik bercerita bersama sang ayah, menghabiskan sisa senjanya dengan memetik gitar bersama. Namun entah apa yang merasuki ibunya, tiba tiba wanita paruh baya itu mengambil alih komputer suaminya, membuka laman twitter pada layar kemudian mencaci maki sang ayah.

Alyssa yang tidak tahu apa apa memilih diam, ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu; mencoba merendam emosinya agar tak ikut larut dalam perseteruan. Tak lama kemudian suara patahan kayu yang menghantam tulang terdengar, ini sangat brutal, Alyssa mengintip ruangan itu. Kakinya melemas melihat pemandangan pertamanya; ayahnya yang terkejut dengan perlakuan tiba tiba sang ibu dan gitarnya yang terbelah menjadi dua akibat pertengkaran tersebut. Gadis lemah itu terduduk lemas, ia menutup mulutnya guna menahan isakan.

Kembali, senja menjadi luka traumatis baginya.

"Apa yang kamu tulis?" tanya temannya dari dalam ponsel. Alyssa tersenyum menatap ponselnya, ia menunjukkan buku diarynya, menampakkan tulisan acak yang dibuatnya.

"Wah, sudah pandai menulis ternyata," ucapnya membuat gadis itu bangga. "Ayah dan ibumu pasti bangga." Alyssa menggeleng lemah.

"Mereka tidak pernah bangga padaku,"

Temannya mengerutkan alis, penasaran dengan kisah gadis kecil dihadapannya. "Kenapa demikian?"

"Semenjak mereka bertengkar, aku yang tersiram air raksa yang di lempar sembarang oleh ibu, dan keduanya yang panik dengan kejadian itu membuatku kesepian." Alyssa menundukkan kepalanya. "Kami hampir tidak pernah berbicara. Bahkan aku bisa merasakan darah mengalir di pergelangan ibu."

"Apakah mereka bertengkar lagi? Atau ibuku tengah mencoba membunuh dirinya sebagai penembusan dosa?" Alyssa kembali menitikkan air matanya.

"Aku tidak pernah mendengar kabar ayah lagi," akhir Alyssa sebelum ia benar benar tenggelam pada sedihnya. "Menurutmu bagaimana kabarnya?"

Pria dengan wajah awet mudanya itu tersenyum, ia mencoba untuk tidak mengelus ponselnya–seperti orang gila. "Dia pasti baik baik saja." Kemudian menenangkannya.

Analisis Platform Komunikasi Digital dan Monetisasi, YouTube

  Latar Belakang Dalam era digital ini, platform komunikasi digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, tidak hanya ...