“Jadi gimana?”
Angin berderu kencang menerpa motor bebek milik Risky. Gadis cantik dengan helmet cokelat mengerutkan dahi, memikirkan dugaan tak pasti yang berkelana dibenaknya. Bingung, malu, suka; tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Pipinya kini semerah kepiting rebus. Ada yang menggelitik perutnya saat kata itu kembali terputar di telinga. Kata yang membuat pipinya merah, kata yang membuat keduanya kini saling memberikan kasih.
“Gua suka sama lu. Lu mau gak jadi pacar gua?”
Kata yang membuat perjalanan itu terasa lama.
….
Kembali ke satu tahun sebelum kejadian. Putri, gadis kelahiran Agustus dengan wewangian manis. Gadis ceria yang berhasil memikat hati Risky. Bicara dengannya membuat hati Risky gelisah. Menjadi sebab mengapa dirinya tidak pernah bicara secara langsung dengannya.
Sedangkan menurut Putri sendiri, Risky adalah cowok pendiam. Tidak banyak bicara dan.. err, sok cool? Tidak bermaksud demikian, tapi tingkah lakunya saja sudah menggambarkannya. Sebelumnya Putri tidak memiliki rasa kepada Risky. Ia hanya mengenalnya karena mereka satu kelas. Lagi pula Salsa sudah ada yang punya saat itu, jadi tidak ada maksud untuk mencari yang lain.
Namun Tuhan berkehendak lain. Hubungan Putri harus kandas di saat ia baru mengenal Risky. Namun apakah kisah cintanya berjalan mulus? Bisa dikatakan tidak.
Saat itu sekolah sudah dalam suasana sunyi. Jam pulang sekolah membuat muridnya berpindah masuk ke dalam studio, sebagian murid menumpang menyejukkan diri di sana, sebagian lagi memang sudah ditugaskan ke sana.
Putri duduk di antara lingkaran kelompoknya. Tiga dari sahabatnya ada di sana. Mereka saling berbincang mengenai praktek kerja hari ini.
“Eh, gua mau deket deh sama cowok di sini.” Namun kata itu terlontar begitu saja di dalam percakapan yang usai. Entah angin apa yang menghantui Putri saat ini. “Tapi gua pengen yang gemes-gemes.” Putri bersungut. Mungkin gadis itu jenuh sejak perpisahannya yang terbilang sudah berjalan dua bulan.
“Lo gak ada saran apa, Na?”
Kirana menggeleng menjawab pertanyaannya. Membuat Putri kembali bersandar ke dinding ruang. “Apa gua deketin si Hamed aja, ya?” Pendapatnya segera dibantah oleh Kasandra, ia menggeleng tidak setuju.
“Kalau gua lihat-lihat nih, ya. Lo tuh cocok sama Risky,” ucapnya berpendapat.
Kirana mengangguki pernyataan itu. “Kayaknya sih dia free.”
Salsa berpikir sejenak. “Risky tuh.. yang sekelompok sama gue, ya?” Kirana dan Kasandra mengangguk.
"Tapi gue gak setuju deh," cicit Erika berkumandang. Ia segera ditatap galak oleh Kirana dan Kasandra. "Lo gak tau kalau Risky itu crush gue apa?!" Serunya tak mau kalah.
"Ya gue mau maju duluan, lah." Finalnya. Erika mengambil tasnya, disampirkan dibahunya, dan bergegas meninggalkan studio. Melihatnya seperti itu tentu membuat Kirana dan Kasandra kesal.
"Lagian gue juga suka kali sama pangeran sekolah itu." Kasandra berkumandang.
"Loh lo juga suka? Apa kabar gue? Aduh ngeliat dia megang kamera aja udah keliatan ganteng banget." Sahut Kirana tidak mau kalah. Ia mengipas wajahnya dengan tangannya sendiri.
Sedangkan Putri tanpa rasa berucap, "Udah, udah, Risky tuh milik kita bersama, iya gak?" Perkataannya mengakhiri perebutan itu.
Namun bagaimana dengan Erika? Dengan cepat Putri mengejar gadis anggun itu. Di dalam lorong kelas Putri terus memanggil namanya, membuat empunya menoleh, tersenyum kecut membalasnya.
"Kenapa?" Ketus Erika.
Putri menggeleng, ia menepuk pelan bahu Erika. "Lo jangan marah. Gua gak bakal ambil Risky kok. Ya, paling mau coba buat chemistry antar anggota aja." Tuturnya menggerakkan hati Erika.
Erika balas menepuk bahu Putri. "Makasih, ya. Tapi kayaknya lo juga pantes buat dia." Serahnya.
Putri menggeleng kasar. "Nggak. Risky itu milik kita bersama, gimana? Kasandra sama Kirana juga setuju." Mendengar hal ini tentu mengejutkan Erika, ia tertawa kecil kemudian mengangguk.
"Oke, milik kita bersama."
Setidaknya itu asal mula Putri membulatkan keberaniannya.
Gadis dengan beragam tingkah itu mulai mencari nama Risky di kontaknya. Menekan kolom chat dan mengetikkan beberapa kata. Dengan tujuan awal, untuk membuat chemistry yang baik antar anggota.
“Risky.”
Memanggil namanya untuk mengawali chat tidak buruk, bukan?
Sekali lagi, tidak ada rasa serius yang ditimbulkan oleh Putri. Sedangkan di seberang sana, sudah ada rasa gemetar. Anak laki-laki itu menghembuskan napasnya kemudian menjawab pesan.
“Kenapa Put?”
Putri menerima balasan itu. Ia terkekeh sembari mengetik balasan. “Mau gak jadi teman seumur hidup gua?" Tidak ada maksud untuk membuatnya salah paham. Tidak ada maksud untuk memberikan rasa. Hanya kalimat usil yang bisa membangkitkan seluruh rasa di dalam diri Risky. Satu kalimat, satu bubble chat, dan seribu rasa yang bisa mewakili perasaannya malam itu.
Kalimat tawa dilontarkan oleh Risky di ruang percakapan itu. "Ada-ada aja." Menenangkan hati Putri yang sempat cemas; menurutnya Risky tidak terlalu ambil pusing dengan kalimat itu. Meski keadaan Risky sebenarnya adalah sebaliknya. Risky pusing, sungguh. Hatinya tidak bisa berhenti berdansa, senyumnya melebar, kalimatnya terngiang dikepala. Membawanya masuk ke dalam mimpi indah, mimpi yang selalu didambakannya.
…
Menurutmu apa yang akan dilakukan orang awam setelah mendapatkan pesan seperti itu? Terlebih dari orang yang tidak pernah kamu kenal sebelumnya.
Mayoritas akan menyebut Putri ‘aneh, freak, centil’, dan sebagainya. Tapi tidak dengan Risky. Alih-alih menganggapnya demikian, bocah itu malah menyiapkan kereta kudanya untuk Putri. Tentunya kalimat itu menjadi sinyal hijau untuk Risky. Sehingga tahap yang akan ia lakukan saat ini adalah pendekatan; menyapanya setiap hari, saling berbincang, dan menentukan waktu serius.
Sangat serius.
Putri mulai menjaga jaraknya dengan Risky ketika rumor dating Risky dan Nae tersebar. "Daripada salah paham, lebih baik mereka menjaga jarak, bukan?" Setidaknya begitulah pikir Putri. Kedetakan mereka berdua tidak dapat dipungkiri. Terlebih mereka bekerja sebagai DOP dan editor di kelompok ini, menjadikan keduanya terlihat serasi, lengkap, dan romantis.
Tapi tidak.
Semakin gadis dengan nama kerajaan itu menjauh, semakin terlihat jelas pula pangerannya mengejar. Risky seolah meyakinkan dirinya bahwa rumor itu tidak benar. Anak laki-laki itu mencoba merangkulnya, emberikan kehangatan disunyinya malam, menjadi petunjuk untuk keluar dari rasa bersalahnya.
"Lo kok ngejauh, Put?"
Putri terbelalak, pecah lamunannya di dalam pelukan Risky.
...
Bulan sepuluh. Proyek mereka sebentar lagi selesai. Kejadian kemarin membuat Putri mulai menyadari kode-kode ringan yang diberikan oleh Risky, baik di WhatsApp atau saat sedang bertemu tatap. Putri tidak pernah menyangka kalau kalimatnya di ambil serius. Putri juga tidak pernah menyangka kalau ia hanya menelan rumor palsu tanpa melihat fakta.
Tapi siapa peduli? Tujuan Putri sendiri tidak ingin melenceng dari kata "hanya kenal", bukan?
Kini saatnya Putri yang meminta kejelasan dari hubungan mereka.
“Jadi kapan?” Kalimat cantik yang dilontarkan Putri. Kalimat yang sekali lagi membuat jantung Risky ingin berlari sekencang mungkin. Kalimat yang membuatnya membeku.
“Ris?” Panggilan itu membangunkannya.
Risky mati kutu sekarang. Kalimat yang ingin dilontarnya tertahan. Lidahnya kelu. “H-hah?” Putri memutar bola matanya malas, meminta Risky untuk melupakan pertanyaannya. Pertanyaan yang terus menghantuinya.
Di dalam percakapan WhatsApp mereka saja kalimat itu kembali terlontar. "Hubungan kita sebenernya apa sih Ris? Gua gak mau gede rasa dulu, jadi tolong kasih gua kejelasan." Melihatnya saja sudah membuat Risky menelan ludah kasar. "Jadi kapan mau ngejelasin hubungan kita?" Ditambah dengan memperjelas maksud.
Mungkin Risky bisa gila saat ini.
"Tunggu waktunya." Kalimat yang selalu terlontar setelah kalimat 'kapan'.
Terdengar membosankan namun demikian. Putri harus menjelaskan hal ini keketiga temannya, meminta persetujuan mereka apabila hubungan mereka diperjelas dengan ikatan cinta. Butuh waktu satu minggu untuk Erika merelakannya hingga hari mereka akan melakukan syuting dimulai.
"Lagi-lagi jagain jodoh orang doang." Resah Erika memaklumi. "Gapapa sih, simpenan gue masih banyak." Kemudian berkata enteng. Tidak demikian dengan hatinya meski di belakangnya memang sudah terlihat jelas ada yang mengejarnya.
Putri tersenyum ragu menanggapi pernyataan itu.
"Kenapa muka lo kayak gitu? Kejar aja sih, kasian pangeran lo udah siap bawa lo ngedate hari ini." Gurau Erika mencoba menenangkan hati Putri. Putri tersenyum lega dan mengangguk, mengucapkan terima kasih setelahnya.
Pukul delapan pagi Risky sampai di studio bersama dua kakak kelasnya; Nevin dan Vedro. Risky menghampiri Putri, memberikan kode agar gadis itu bisa bicara empat mata dengannya. Nevin dan Vedro menuntun Putri untuk ikut mereka, tentunya dengan tujuan berbeda.
"Sudah siap semua? Alat? Busana? Make up?" tanya Nevin memastikan perlengkapan syuting mereka lengkap. Semua anggota mengangguk. Mereka segera memasukkan perlengkapan di dalam mobil.
"Mobil hanya muat untuk lima orang, itu pun dempet-dempetan." Ucap Vedro menutup bagasi mobil yang penuh. "Yang mau masuk mobil acung tangan."
Mendengar hal itu Putri tentu menunjuk tangannya, mengingat di dalam mobil lebih sejuk daripada motor. Namun acungan tangannya tidak diacuhkan oleh Vedro sehingga bibirnya bersungut malas. Sikapnya membuat Risky terkekeh. Tangannya bergerak mengusap kain hijab milik Putri.
"Lo bawa motor?"
"Justru itu! Gua sengaja gak bawa motor biar bisa naik mobil!" Sebalnya. Membuat Risky gemas sendiri.
Ya Tuhan, kalau Risky boleh bawa anak ini pulang, bolehkah Risky pilih opsi karungin aja?
"Ya udah bareng gue aja, tapi pake motor. Gak masalah kan lo?" Tawar Risky menyerahkan helmetnya.
Putri berpikir sejenak, bibirnya ditekuk kebawah. "Boleh deh." Jawabnya mengambil helmet cokelat di tangan Risky.
Risky bersorak senang. Strategi yang sudah disusunnya bersama Nevin dan Vedro ternyata berhasil. Tubuh gagahnya segera menaiki motor bebek miliknya, disusul oleh Putri di belakangnya.
"Pegangan biar gak jatoh." Pintanya diangguki Putri.
Perjalanan pun dimulai. Risky dan Vedro dengan motornya memimpin perjalanan, sedangkan Nevin ikut masuk ke dalam mobil.
Tidak ada kalimat yang terlontar di antara Risky dan Putri, hanya deru angin yang menemani keduanya. "Put, gua mau ngomong." Hingga kalimat ini terlontar. Putri mengangguk, menyilakan pria itu berbicara.
"Ngomong aja, gak ada yang ngelarang lo juga."
"Ya elah ketus amat sih, neng." Canda Risky mencoba menghangatkan atmosfernya, menetralisir detak jantungnya. "Lo tau gak sih?"
Dengan sekali embusan napas, Risky mengungkapkan rasanya. "Dari awal gua udah suka sama lo." Suaranya teredam kain helmet dan angin namun masih jelas terdengar ditelinga Putri.
Gadis itu masih tidak percaya. Pipinya tiba-tiba saja memerah, waktu seolah berhenti hanya untuk mereka. Angin yang menerpa seolah tidak memberikan rasa sejuk untuknya. Lidahnya kelu, telinganya hanya bisa mendengar ucapan Risky, otaknya masih mencerna tiap kata pada kalimat Risky.
"Put," panggil Risky setelah tidak mendapat jawaban. "Mungkin gua kelamaan ungkapin rasa gua, tapi tolong terima, ya?" Putri tidak habis terkejutnya.
"Gua siap jadi teman seumur hidup lo. Sanggup berada di sisi lo sampai hari tua, ngerangkul lo di saat lo pengen nangis, nenangin diri lo di saat semua gak baik-baik aja."
Hancur sudah dinding pertahanan Putri. Ia tidak lagi bergeming. Jantungnya berdegup dua kali lipat dari biasanya. Napasnya seakan berhenti.
“Jadi gimana?”
Angin kembali terasa berderu kencang menerpa motor bebek milik Risky, membuat keringat yang keluar terasa dingin. Gadis cantik dengan helmet cokelat mengerutkan dahi, memikirkan dugaan tak pasti yang berkelana dibenaknya. Bingung, malu, suka; tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Pipinya kini semerah kepiting rebus. Ada yang menggelitik perutnya saat kata itu kembali terputar di telinga. Kata yang membuat pipinya merah, kata yang membuat keduanya akan saling memberikan kasih.
“Gua suka sama lu. Lu mau gak jadi pacar gua?”
Kata yang membuat perjalanan itu terasa lama.
Putri menjulurkan tangannya memeluk punggung Risky. "Iya." Matanya terpejam di balik punggungnya. Jawabannya meyakinkan dan menenangkan hati Risky.
Risky tersenyum puas. Tangan kirinya mengelus lembut jemari Putri. "Gua gak denger." Ledeknya.
"Lo pasti pura-pura, kan?"
"Hah?" Risky masih pura-pura tuli.
"Iya gua mau sama lo!" Jelas Putri menenggelamkan kepalanya di balik jaket Risky. Risky tertawa, ia puas dengan jawaban Putri.
"Makasih, ya." Ucapan itu diangguki.
Mulai hari ini mereka resmi menjadi adam dan hawa yang saling mengasihi.
...
Tidak berselang lama keduanya terdiam, Risky kembali melontarkan kalimatnya. "Tapi gua punya punya satu permintaan."
Putri memiringkan kepalanya, penasaran. "Apa?"
"Gua bolehkan panggil lo Bela?" Putri mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Karena lo cantik, Put."
"Gua mau lo jadi satu-satunya keindahan milik gua, satu-satunya cewek cantik yang bakal gua puji setiap saat."
Sudah berapa kaki Risky membuat pipi Putri memerah? Tidak terhingga sepertinya.
Tidak mau kalah, Putri pun ikut bertanya. "Kalo gua panggil lo Bima, boleh?"
Risky tersenyum santai. "Bolehlah, masa gak boleh."
"Lo gak mau tau artinya gitu?" Kesal Putri atas jawabannya yang tidak memuaskan.
"Haha, apa tuh?"
Putri tertawa kecil, peluknya dieratkan—menyalurkan kasihnya. "Karena lo orang hebat yang pernah gua temuin. Hebat banget lo udah berani ungkapin perasaan lo. Ya, meski di motor, sih."
Risky mengangkat sebelah alisnya. "Lo mau ditembak dihadapan anak-anak?" Satu pukulan terlempar dipunggung Risky.
"Gak gitu juga!" Sungut Putri sebal. Baru hari pertama saja menyebalkannya sudah terlihat, bagaimana nanti?
Tawa Risky kembali terdengar. Perjalanan itu terasa menyenangkan. Tidak ada lagi canggung yang menghantui keduanya. Mereka akhirnya mempunyai hubungan yang jelas. Meski tidak mudah untuk mempertemukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar